Ada
sebuah gubuk reyot di mataku. Aku melihat panggung kecil di balik Gubuk reyot
ini. Di kala musim dingin mampir, dinginnya menusuk tulangku. Seluruh raga
menggigil tanpa selimut hangat atau perapian mewah. Begitu dinginnya malam kala
musim tak bersahabat di panggung kecilku. Gubuk reyot berdinding bilik bambu
ingin roboh. Gubuk pun tak mampu melindungi dirinya. Dasar malang. Malang nian
nasibmu si Gubuk reyot. Dan inilah malamku di desa bersama si Gubuk reyot.
Gubuk reyotku menemaniku.
Gemuruh
petir menyambar seluruh kampung. Badai dan angin ribut bersatu, meniupkan
pepohanan. Dinginnya pun tak kalah dinginnya es. Badai ini memang begitu
dahsyat. Dan kembali lilin kecil menerangi relung-relung jiwaku di gubuk reyot.
Di gubuk reyot.
Tak
ada sandiwara dalam panggung kecilku, di Gubuk reyot. Yang ada hanya selimut
bolong menyelimuti tubuhku. Aku tinggal bersama ibunda si permata hatiku terasa
begitu damai bagai di surga. Badai pun tak akan mampu menghentikan hangat cinta
seorang ibu. Cintanya bukan sandiwara di Opera kaum bangsawan. Opera yang
mempertontonkan kekonyolan.
“Ceritanya
fana. Sandiwaranya pun murahan.” Cibirku di dada.
Malam
semakin mendingin.
“Dingin…
dingin sekali…” Keluhku di Gubuk reyot sambil terbaring lemas. Sampai rasa
kantuk tak mampu meninabobokan mata ini.
Pelan-pelan
dia menghampiriku bak malaikat, membawa susu hangat. Didekatkan wajahnya ke
kepalaku. Dia membelai kepalaku penuh kasih sayang. Tak sedetikpun dia berhenti
mengecup keningku lembut. Dia membagi kehangatannya dengan hangat cintanya.
Terasa begitu hangat. Rasa dingin tiba-tiba hilang begitu saja. Musim dingin
berganti musim semi seketika. Begitu syahdu berada di peluknya. Kasih sayangnya
mengalir di seluruh tubuhku saat di peluknya. Tercium harumnya bak kasturi. Dia
tak pernah melepaskan tanganku dari dinginnya malam. Bibirnya tak lepas dari
dzikir dan doa. Dzikir dan doa menjadi lagu nina bobo terindah di telingaku.
Dan wajahnya terus dihiasi dengan senyum indahnya.
Sebelum
mataku terlelap oleh bunga tidurku, terdengar kata-kata indah keluar dari
lisannya dengan lirih dan merdu.
“Bunda
‘kan selalu ada di sini untukmu, nak. Tidurlah malaikat kecilku.”
-o0o-
Allahu
Akbar… Allahu Akbar…
Kumandang
adzan bergema ke seluruh penjuru desa. Kumandangnya memanggil-manggil penduduk
desa. Meraka pun tak ragu bergegas datang ke surau. Surau sederhana nan teduh menunggu
sabar. Shalat magrib ini begitu indah dengan lantunan kalam ilahi dari lisan
sang Imam. Seluruh semesta tunduk dan khidmat akan merdunya suara sang Imam di
Surau desaku.
Usailah
shalat magrib, terdengar tiba-tiba suara yang aku kenal baik wibawanya.
“Ehem..
Saatnya Mengaji!!” Agak serak dan kuat. Sang Imam memanggilku dan kawan-kawan
mengaji dengan tongkat di tangan.
Aku
mengaji beberapa ayat. Dan beberapa kali Sang Imam harus memukulkan tongkatnya
karna salahku dalam mengaji.
Tok!!
Suaranya kencang dan keras.
Semuanya
hening seperti di dalam pusara nan dingin. Aku terbaring lemas dengan air mata
di penjaraku tiba-tiba. Aku kembali di penjaraku dengan pening di kepalaku.
“Oh…
Nasib!”
“Hei
Zaman!! Engkau telah taburkan duri di kakiku. Tahukah kau?! Hidupku kini bak
Penjara Jahanam.” Teriakan hidupku di dalam penjaraku.
-o0o-
Muhammad
Luthfi
(al-Ghoby)