Senin, 25 Juni 2012
Selasa, 19 Juni 2012
Jodoh
Selasa, 19 Juni 2012
Jodoh
Bukannya Aku yang terlalu
memilih
Namun dia yang terlalu
memilih
Menebak jodoh tentu bukan Aku
Datang tiba tak kenal waktu
Memang dia tak tahu malu
Di pinggir kota tua
Harap berajut cinta berdua
Di bait-bait doa
Harap takdir memandu dinda
Kelak bertemu janur cinta
Namun dia titahkan, Tidak!!
Tali cinta putus seketika
Demikian... dia patahkan
Dia memang terlalu memilih
Terbaik-ku bukan terbaik-nya
Lelah Aku menanti dinda
Bidadari bawa
setangkai cinta
Bimbang dada untukku
Karna hanya khayal-ku
Aku ubah cerita
Tak kusangka
Dia tulis beda cerita
Tak seorang tahu
Tak malaikat tahu
Tak nabi tahu
Tak juga Kau!!! tahu
Memang dia yang terlalu memilih
-o0o-
-azZuhri-
Hidupku, Aku, dan Penjaraku (part II)
Ada
sebuah gubuk reyot di mataku. Aku melihat panggung kecil di balik Gubuk reyot
ini. Di kala musim dingin mampir, dinginnya menusuk tulangku. Seluruh raga
menggigil tanpa selimut hangat atau perapian mewah. Begitu dinginnya malam kala
musim tak bersahabat di panggung kecilku. Gubuk reyot berdinding bilik bambu
ingin roboh. Gubuk pun tak mampu melindungi dirinya. Dasar malang. Malang nian
nasibmu si Gubuk reyot. Dan inilah malamku di desa bersama si Gubuk reyot.
Gubuk reyotku menemaniku.
Gemuruh
petir menyambar seluruh kampung. Badai dan angin ribut bersatu, meniupkan
pepohanan. Dinginnya pun tak kalah dinginnya es. Badai ini memang begitu
dahsyat. Dan kembali lilin kecil menerangi relung-relung jiwaku di gubuk reyot.
Di gubuk reyot.
Tak
ada sandiwara dalam panggung kecilku, di Gubuk reyot. Yang ada hanya selimut
bolong menyelimuti tubuhku. Aku tinggal bersama ibunda si permata hatiku terasa
begitu damai bagai di surga. Badai pun tak akan mampu menghentikan hangat cinta
seorang ibu. Cintanya bukan sandiwara di Opera kaum bangsawan. Opera yang
mempertontonkan kekonyolan.
“Ceritanya
fana. Sandiwaranya pun murahan.” Cibirku di dada.
Malam
semakin mendingin.
“Dingin…
dingin sekali…” Keluhku di Gubuk reyot sambil terbaring lemas. Sampai rasa
kantuk tak mampu meninabobokan mata ini.
Pelan-pelan
dia menghampiriku bak malaikat, membawa susu hangat. Didekatkan wajahnya ke
kepalaku. Dia membelai kepalaku penuh kasih sayang. Tak sedetikpun dia berhenti
mengecup keningku lembut. Dia membagi kehangatannya dengan hangat cintanya.
Terasa begitu hangat. Rasa dingin tiba-tiba hilang begitu saja. Musim dingin
berganti musim semi seketika. Begitu syahdu berada di peluknya. Kasih sayangnya
mengalir di seluruh tubuhku saat di peluknya. Tercium harumnya bak kasturi. Dia
tak pernah melepaskan tanganku dari dinginnya malam. Bibirnya tak lepas dari
dzikir dan doa. Dzikir dan doa menjadi lagu nina bobo terindah di telingaku.
Dan wajahnya terus dihiasi dengan senyum indahnya.
Sebelum
mataku terlelap oleh bunga tidurku, terdengar kata-kata indah keluar dari
lisannya dengan lirih dan merdu.
“Bunda
‘kan selalu ada di sini untukmu, nak. Tidurlah malaikat kecilku.”
-o0o-
Allahu
Akbar… Allahu Akbar…
Kumandang
adzan bergema ke seluruh penjuru desa. Kumandangnya memanggil-manggil penduduk
desa. Meraka pun tak ragu bergegas datang ke surau. Surau sederhana nan teduh menunggu
sabar. Shalat magrib ini begitu indah dengan lantunan kalam ilahi dari lisan
sang Imam. Seluruh semesta tunduk dan khidmat akan merdunya suara sang Imam di
Surau desaku.
Usailah
shalat magrib, terdengar tiba-tiba suara yang aku kenal baik wibawanya.
“Ehem..
Saatnya Mengaji!!” Agak serak dan kuat. Sang Imam memanggilku dan kawan-kawan
mengaji dengan tongkat di tangan.
Aku
mengaji beberapa ayat. Dan beberapa kali Sang Imam harus memukulkan tongkatnya
karna salahku dalam mengaji.
Tok!!
Suaranya kencang dan keras.
Semuanya
hening seperti di dalam pusara nan dingin. Aku terbaring lemas dengan air mata
di penjaraku tiba-tiba. Aku kembali di penjaraku dengan pening di kepalaku.
“Oh…
Nasib!”
“Hei
Zaman!! Engkau telah taburkan duri di kakiku. Tahukah kau?! Hidupku kini bak
Penjara Jahanam.” Teriakan hidupku di dalam penjaraku.
-o0o-
Muhammad
Luthfi
(al-Ghoby)
Kamis, 14 Juni 2012
Hidupku, Aku, dan Penjaraku
Hidupku,
Aku, dan Penjaraku
Udara
malam mendobrak tubuh ini. Udara dingin di akhir desember. Malamku masih saja
sama seperti malamku kemarin tanpa bintang. Malamku hanya bertemankan lilin
kecil. Hanya lilin ini yang menemani galau hatiku kala gemerlap lampu diskotik
menghipnotis keramaian. Jiwa ini tak tentu arah. Lilin itu membiarkan
imajinasiku berteriak. Aku mulai mendendangkan lagu duka selama ini. Sialnya malamku.
Sialnya nasibku. Bulan pun tak kuasa melihat kesedihan di kesendirianku. Bulan
takut melihat duri yang menusuk kaki kecil ini. Sedangkan mata tak mampu
terpejam. Mata ini hanya bisa menangis kala keramaian tertawa bahagia dengan
perut buncit ke depan.
Di
siang hari, aku bertaruh nyawa menantang
zaman. Di malam hari, aku berteriak dalam kesepian. Malam nan sepi menyelimuti diri ini yang ringkih lagi
rapuh akibat zaman. Hampir di setiap malamku tak mampu tidur nyenyak. Bunga
tidur pun enggan masuk dalam tidurku. Inilah hidupku di kamar bak penjara
kehidupan. Ya!! Di kamar ini lah aku merintih kesakitan di dada meratapi
kerasnya hidup di kota. Dan biarlah Dia yang mendengar teriakan dalam qalbuku nan kelam. Penjara ini hanya memiliki satu tempat bernaung.
Pusaraku yang usang sebagai tempat pembaringanku setiap malam.
Aku bersimpu di penjaraku. Di atas lantai ini, aku
menengadah ke langit kamar
seakan aku melihat
ajalku. Dan tibalah tetes
air mata jatuh deras, membasahi tempat sujudku. Aku
berteriak bak diberondong peluru yang menghujam di sekujur tubuh.
“Aku
benci hidup ini ?! Aku panggil Engkau? Dan Aku berlari, Kemana ?!!”
Aku
ingin berlari dari hidup ini namun dada ini terasa sempit, terhimpit batu
besar. Itu batu kehidupan. Batu yang sempat menimpa si budak Habasyi. Tak kuasa
ku berlari. Belum sempat aku berlari namun raga terjatuh di lantai dingin dalam
penjara kehidupan. Sekujur badan bergetar hebat, terasa di kaki kecilku hingga
bibirku.
Di
bibir ini bergetar sebait doa’ untuk Pencipta zaman.
“Ya
Rabb, ampunilah aku. Bukankah aku ini hambaMu?” aku ulangi Sembilan puluh Sembilan
kali dengan air mata mengalir di pipi.
Tik…
Tik… Tik…
Suara
jam kotak tua itu terus berdetik, mengintatkanku akan senyum ibunda di sana. Di
sana. Jauh di sana.
-o0o-
“Gunung, lembah, bukit, pepohonan, hijau, mentari,
dan pelangi.”
“Dimana
ini?” Tanyaku dalam batinku. “Tempat macam apa ini?! Firdaus kah?!!” Aku tak
percaya, berada di taman surga.
Tempat
ini hampir ditelan zaman. Tempatku dilahirkan. Tempatku dibesarkan. Tempatku diajarkan
mengaji. Inilah tempatku seharusnya menghabiskan hari-hariku dengan udara
desaku. Aku berdiri di antara ladang-ladang nan hijau. Dan di bawah pepohonan
nan rindang dan teduh aku bersenda gurau. Amboi, sejuknya udara berhembus di
sela-sela dahan cemara. Udara itu seakan-akan menyanyikan lagu simfoni di
telingaku. Inilah kehidupan desa. Desa menceritakan kenikmatan yang hakiki.
Suara para petani bersorak gembira menanti setetes berkah yang turun dari
langit.
Kala
derai hujan basahi wajahku, aku segera berlari kencang seperti angin. Wush!
Tawaku terus saja tak mau berhenti. Semakin deras hujannya, semakin asyik
kuberlari. Berlari menikmati hidup. Aku tak peduli sakit. Aku dan kawan-kawanku
bermain hujan bak kodok ngorek yang lompat ke sana kemari berpesta hujan. Suara
tawa kami mengalahkan suara hujan. Dan langit tersenyum melihat kami bermain
hujan-hujanan. Begitu juga ibundaku tercinta. Senyumnya mengalahkan mentari
pagi. Saat aku berbalik melihatnya, kami berdua saling tertawa bersama-sama
tanpa ada beban. Begitu indah senyumnya, tak akan mampu kulupakan senyum itu. Betapa
bahagianya kami berpesta pora walau hanya ada pesta hujan di desa kecil ini.
“Hujan!!!
Kemana kau? Wahai hujan! Datanglah ke kamar kecil ini!” Rinduku padamu,
membasahi wajahku dengan air mata.
-o0o-
bersambung...
Loading...
Langganan:
Postingan (Atom)